I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Permasalahan yang dihadapi dunia peternakan Indonesia
antara lain adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu genetik ternak.
Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih
merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan
keterampilan peternak relatif masih rendah, pemeliharaan ternak dilakukan
secara sambilan (bukan menjadi sumber ekonomi utama) dengan kepemilikan ternak
1-3 ekor. Rendahnya produktifitas ternak sapi ditandai dengan rendahnya
pertambahan bobot badan harian yang rata-rata masih dibawah 0,4 kg/hari. Dari
aspek reproduksi antara lain, panjangnya jarak beranak (calving
interval) sapi betina produktif yang rata-rata diatas 18 bulan serta
angka kelahiran (calving rate) yang masih dibawah 60 % dari
sapi betina produktif yang akan berdampak terhadap rendahnya perkembangan
populasi sapi per tahun dan rendahnya pendapatan petani dari usaha ternak sapi.
Faktor keberhasilan ternak salah
satunya tergantung pada penampilan reproduksi. Penampilan reproduksi menyangkut
reproduktivitas. Penampilan reproduksi berhubungan dengan efisiensi reproduksi.
Penampilan reproduksi yang baik akan menunjukkan nilai efisiensi reproduksi
yang tinggi . Produktivitas yang masih
rendah tersebut dapat diakibatkan oleh berbagai faktor terutama yang berkaitan
dengan manajemen reproduksi. Variabel yang berpengaruh seperti umur pertama
kali melahirkan, umur pertama dikawinkan, jumlah perkawinan per kebuntingan dan
jarak kelahiran.
Manajemen
reproduksi yang rendah akan menunjukkkan nilai efisiensi reproduksi yang
rendah. Efisiensi reproduksi yang rendah dapat diakibatkan oleh berbagai faktor
terutama yang berkaitan dengan manajemen reproduksi. Bibit ternak merupakan
salah satu sarana produksi yang memiliki peran yang sangat penting dan
strategis dalam upaya meningkatkan jumlah dan mutu produksi ternak, dan sebagai
salah satu faktor dalam penyediaan pangan asal ternak yang berdaya saing
tinggi. Untuk dapat menghasilkan bibit ternak yang unggul dan bermutu tinggi
diperlukan proses manajemen pemeliharaan, pemuliabiakan (breeding), pakan dan kesehatan
hewan ternak yang terarah dan berkesinambungan. Produksi bibit ternak tersebut
diarahkan agar mampu menghasilkan bibit ternak yang memenuhi persyaratan mutu
untuk didistribusikan dan dikembangkan lebih lanjut oleh instansi pemerintah,
masyarakat maupun badan usaha lainnya yang memerlukan dalam upaya pengembangan
peternakan secara berkelanjutan dan berdaya saing.
Peningkatan
produksi ternak ruminansia seperti ternak potong sudah merupakan hal yang
seharusnya dilakukan dalam mewujudkan swasembada daging dan meningkatkan
pendapatan masyarakat. Dilihat dari potensi ternak yang ada, produksi daging
sapi dalam negeri saat ini belum menunjukan kemampuan yang sebenarnya, karena
kebutuhan dalam negeri belum bisa dipenuhi dari produksi sendiri, untuk memenuhi
kebutuhan terpaksa melakukan impor sekitar 30%. Melalui fenomena ini pemerintah
mengambil kebijakan yakni swasembada daging tahun 2010 yang dikenal dengan
program percepatan swasembada daging sapi (P2SDS). P2SDS menuntut peningkatan
populasi sapi dalam negeri sekitar 1,55 juta ekor dari populasi saat ini 11,28
juta ekor. Upaya peningkatan populasi ini dapat berasal dari kontribusi
peternakan rakyat, perusahaan dan pemerintah. Tingkat kelahiran berdasarkan
data Dinas Peternakan Kota Padang hanya 40%. Permasalahan perningkatan populasi
ternak tidak terlepas dari persoalan reproduksi. Pada peternakan sapi salah
satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan populasi adalah dengan cara
meningkatkan efsiensi reproduksi. Peningkatan reproduksi dilakukan dengan cara
meningkatkan kelahiran. Peningkatan kelahiran dapat dilakukan dengan
mengoptimalkan kemampuan atau potensi reproduksi. Untuk mencapai sasaran
tersebut antara lain dengan cara mengetahui manajemen reproduksi. Hal ini
bertujuan untuk memperpendek jarak kelahiran.
Peningkatan
produktivitas sangat tergantung kepada bibit yang baik, ketersediaan makanan
yang kontinu dan bernilai gizi, sistem pemeliharaan dan tata laksana perkawinan
yang baik serta manajemen reproduksi dan penanganan kesehatan yang baik. Upaya yang
dapat dilakukan salah satunya adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang sapi potong dari segi pemuliaan, reproduksi dan manajemen.
1.2.
Tujuan
Mahasiswa mampu mengetahui manajemen
reproduksi ternak di peternakan yang dikunjungi dan membandingakan dengan
materi yang ada di kuliah.
1.3.
Waktu
dan Tempat
Praktikum lapangan manajemen
reproduksi ternak dilaksanakan pada hari
Senin, 4 Juni 2012 di Banteran Rt
01/ Rw 03 Kecamata Sumabang Kabupaten Banyumas.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor
sapi untuk bunting dan me nghasilkan
keturunan yang layak (Niazi, 2003). Sedangkan menurut Hafez (1993) efisiensi reproduksi adalah penggunaan secara
maksimum kapasitas reproduksi. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi reproduksi terutama melalui penerapan bioteknologi atau
mengembangkan teknologi praktis dan praktek-praktek manajemen yang dapat
meningkatkan efisiensi reproduksi (Basyir, 2009).
Manajemen
perkawinan ternak yang baik juga merupakan hal yang sangat penting untuk
meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunan. Salah satu cara untuk
memperbaiki manajemen ternak adalah dengan inseminasi buatan (IB). Dengan hal ini berarti
meningkatkan efisiensi reproduksi pada hewan donor tersebut (Wijaya, 2008).
Ukuran
efesiensi reproduksi dalam usaha peternakan sangatlah penting, dengan adanya
beberapa ukuran efesiensi reproduksi sapi perah berdasarkan penampilan
reproduksi (Djagra, 1989 ): periode
kosong yaitu periode atau selang waktu sejak sapi beranak sampai dikawinkan
kembali dan terjadi kelahiran, kawin pertama setelah beranak yaitu selang waktu
sejak sapi beranak sampai dikawinkan kembali, jumlah kawin pada setiap
kelahiran yaitu berapa kali sapi dikawinkan sampai terjadi kelahiran. Lama
bunting yaitu selang waktu sejak sapi dikawinkan dan terjadi kelahiran sampai
sapi beranak.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi efisiensi reproduksi antara lain pakan nutrisi yang terkandung di dalam ransum berpengaruh pada
organ-organ reproduksi dan fungsi kelenjar-kelenjar yang memproduksi hormon.
Manajemen atau tatalaksana sangatlah berpengaruh terhadap ternak sapi. Penyakit
dan suhu udara dan musim sangat berpengaruh terhadap sifat reproduksi (Suyasa,
1999).
III.
METODE
DAN CARA KERJA
3.1.
Metode
3.1.1. Alat
a.
Alat tulis
3.1.2. Bahan
b.
Kuisioner
c.
Tempat yang dikunjungi
3.2.
Cara
Kerja
a.
Tempat peternakan yang akan disurvei
ditentukan
b.
Janji pertemuan dengan pemilik ternak
dibuat
c.
Peternakan dikunjungi
d.
Kondisi peternakan diamati
e.
Sistem perkawinan pada peternakan
tersebut sesuai kuisioner didiskusikan.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
A.
Identitas
Peternak
Nama : Bapak Supar
Alamat : Banteran Rt 01/ Rw 03 Kecamatan
Sumabang Kabupaten
Banyumas
Jenis Ternak : Sapi
Lama Beternak : 25
Tahun
Alasan Beternak : Untuk
meraih keuntungan
Jumlah Ternak : 3 ekor
B. Manajemen Perkawinan Ternak Jantan
Jenis Ternak : Sapi
Bangsa : Simental
Jumlah Ternak Jantan : 1
Umur pertama kali : 5
bulan
di kawinkan
Berapa kali dalam : 2
x 1 bulan
seminggu
C.
Manajemen
Perkawinan Ternak Betina
Jenis Ternak : Sapi
Bangsa : Simental dan Limosin
Jumlah Ternak Induk : 2
Umur pertama kali : 3
tahun
di kawinkan
Sistem Perkawinan : IB
(IB/KA)
Alasan IB/KA : Mudah
Bangsa pejantan : Simental
dan Limosin
yang digunakan
Biaya mengkawinkan : Rp.
100.000,00
Kendala-kendala : Saat
menunggu waktu birahi
dalam mengkawinkan
Tingkat Keberhasilan : 2x
perkawinan baru jadi
Umur mengkawinkan : 2
tahun
ternak dara
Berapa kali : 2 x 1 bulan
dikawinkan
Kendala-kendakla : Makanan
yang dibutuhkan harus penuh gizi
saat kebuntingan
Lama bunting : 9 bulan
Kendala-kendala : -
saat beranak
Anakan yang : Jantan
Diharapkan (J/B)
Alasannya : Lebih mahal
Waktu dikawinkan : 3
bulan
setelah beranak
Alasannya : Agar cepat menghasilkan keturunan
Umur anakan dijual : 5
Alasannya : Bagus, harga tinggi dari sapi lokal.
4.2.
Pembahasan
Keberhasilan
reproduksi merupakan cermin keberhasilan suatu usaha peternakan. Berkembangnya
populasi sangat tergantung pada induk dan bibit yang berkualitas serta jumlah
kelahiran sapi yang banyak. Hal ini tentu sangat ditunjang oleh manajemen reproduksi yang optimal. Produksi dan reproduksi sangat berkaitan erat bagi
berkembang dan tersedianya ternak sapi. Kegagalan seekor ternak untuk menjadi bunting pada satu atau lebih
perkawinan akan menghilangkan produk konsepsi pada satu atau lebih periode
kebuntingan (Salibury dan Vandermark, 1985).
Manajemen perkawinan yang tepat
merupakan salah satu cara untuk memperoleh tingkat keberhasilan kebuntingan
pada hewan ternak. Manajemen ini meliputi pola perkawinan, pengamatan waktu
berahi, pemilihan sapi jantan yang tepat, serta keterampilan dan pengetahuan
petugas maupun peternak dalam teknik perkawinan. Dipeternakan perkawinan
dilakukan secara alami atau melalui kawin suntik atau IB ( Fikar, 2010).
Kemampuan untuk mempunyai anak yang
hidup bukanlah suatu aktifitas fisilogik yang mutlak efisien. Efisiensi
reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat diukur semata-mata oleh proporsi
ternak yang tidak mampu memproduksi
anak. Banyak induk yang melahirkan anak dengan interval panjang, atau mati pad
awaktu bunting maupun saat melahirkan sehingga menyebabkan masalah penurunan efisiensi reproduksi.
Tampaknya keanekaragaman peristiwa mungkin dapat merintangi proses kelahiran
seekor anak yang normal sejak perkawinan sampai waktu beranak (Yedi, 2003).
Pada praktikum manajemen reproduksi
peternakan sapi yang kami survei milik Bapak Supar yang beralamat di Banteran
Rt 01/ Rw 03 Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas. Beliau beternak sapi sudah
25 tahun. Alasan beliau beternak sapi adalah untuk meraih keuntungan. Jumlah
ternak yang ada saat ini hanya 3 ekor. Beliau beternak untuk dijual lagi saat sapi
yang diternaknya sudah memiliki anak. Bapak Supar awal memiliki ternak dengan
membeli indukan sapi potong lokal. Karena harga jual yang rendah maka beliau
beralih pada sapi impor.
A.
Manajemen
Perkawinan Ternak Jantan
Sapi
jantan yang dipelihara oleh Bapak Supar adalah bangsa simental. Jumlah nya 1
ekor dan berumur 5 bulan. Jika akan dikawinkan pejantan harus berumur 2 tahun
dan dikawinkan 2x 1bulan. Beliau dahulu memelihara pejantan untuk dikawinkan
didesanya jika ada sapi betina yang estrus, tetapi saat ini beliau memelihara
untuk dijual dan beliau menggunakan IB untuk sapi betinanya yang sedang estrus.
Pubertas
adalah umur atau waktu dimana organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan
perkembangbiakan dapat terjadi. Pada hewan jantan, pubertas ditandai oleh
kesanggupan berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan-perubahan
kelamin skunder lain.
Ciri-ciri atau bentuk luar sapi potong jantan yang baik:
·
Kurus tapi sehat sehingga pada waktu
digemukkan akan mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat (pertumbuhan kompensasi)
·
Memiliki kerangka tubuh yang besar, ukuran
badan panjang dan dalam, punggung lurus, jarak antara dua kaki belakang lebar.
Rusuk tumbuh panjang yang memungkinkan sapi mampu menampung jumlah makanan yang
banyak. Sapi yang demikian menunjukkan kapasitas produksi yang baik
·
Bentuk tubuh segi empat, pertumbuhan tubuh
bagian depan, tengah dan belakang
·
Tidak boleh memperlihatkan cacat tubuh
yang akan mempengaruhi kemampuan produksi, misalnya pincang dan kelainan
rahang.
B.
Manajemen
Perkawinan Ternak Betina
Sapi
betina (induk) yang dipelihara Pak Supar adalah bangsa simental dan limosin.
Jumlah nya ada 2 berumur 3 tahun. Pertama kali dikawinkan umur 2 tahun, sistem
perkawinannya menggunakan IB karena pengggunaan IB dianggap lebih mudah
dibanding kawin alami walau beliau harus
mengeluarkan biaya Rp. 100.000,00 untuk IB. Bangsa sapi betina yang yang dipelihara yaitu ada 1
sapi simental dan 1 limosin.
Kendala
saat perkawinann adalah saat menggu waktu berahi yang lama. Tingkat
keberhasilan yaitu paling sering 2x dalam 1 bulan IB baru ternak bisa bunting.
Kendala-kendala yang dialami peternak pada umumnya tidak ada karena sistem
pemeliharaannya yang baik tetapi beliau hanya menyebutkan makanan yang
dibutuhkan harus penuh gizi saat sapi bunting agar sapi bisa beranak dengan
baik. Lama bunting yang diperlukan yaitu 9 bulan. Anak yang diharapkan oleh
peternak yaitu sapi jantan karena harga jualnya yang lebih mahal. Jarak waktu
dikawinkan setelah beranak yaitu 3
bulan. Alasannya agar cepat menghasilkan keturunan. Umur anakan dijual 5 bulan.karena
bagus, harga tinggi dari sapi lokal.
Reproduksi merupakan proses fisiologis pada makhluk
hidup untuk menghasilkan keturunan. Hewan tingkat tinggi, termasuk ternak sapi,
bereproduksi secara seksual, dan proses reproduksinya meliputi beberapa
tingkatan fisiologik yang meliputi fungsi-fungsi yang sangat komplek dan
terintegrasi antara proses yang satu dengan yang lainnya. Tingkatan-tingkatan
fisiologik tersebut meliputi: 1) Pembentukan sel-sel kelamin ( gamet ), 2)
Pelepasan sel-sel gamet yang telah berdiferensiasi secara fungsional, 3)
Perkawinan untuk mempertemukan gamet jantan dan gamet betina, 4) Fertilisasi,
fusi antara kedua pronuclei, 5) Pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan
zigote sampai kelahiran normal. Dalam bidang peternakan, produktivitas ternak
tidak dapat dipisahkan dengan proses reproduksi. Sebagai contoh, untuk
menghasilan telur, susu dan ternak muda, haruslah melalui serangkaian proses
reproduksi yang dimulai dengan pembentukan sel telur/ sel sperma, ovulasi,
fertilisasi, pertumbuhan dan perkembangan fetus sampai dengan dilahirkan
(partus).
Pengetahuan tentang reproduksi ternak sangat penting
diketahui oleh seorang peternak. Dengan manajemen reproduksi yang baik peternak
dapat meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunannya. Banyak
hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama
melalui penerapan bioteknologi atau mengembangkan teknologi praktis dan
praktek-praktek manajemen yang dapat meningkatkan efisiensi reproduksi.
(Basyir, 2009). Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen ternak adalah dengan
inseminasi buatan (IB) yang kini efisiensinya sudah puluhan tahun dinikmati.
Dengan teknik IB dapat ditingkatkan perbaikan mutu genetik secara cepat, untuk
pencegahan kemajiran ternak, pencegahan penyebaran penyakit. Teknik lainnya
untuk meningkatkan efisiensi reproduksi adalah dengan embrio transfer (TE).
Teknik ini dilakukan secara bersamaan dengan superovulasi. Dengan teknik
superovulasi, betina yang berkualitas baik yang dipakai sebagai donor embrio
dipacu agar dapat mengovulasikan banyak sel telur, setelah sel-sel telur itu
dibuahi dan berkembang menjadi zigot-zigot. Zigot-zigot tersebut kemudian
ditransfer pada beberapa resipien. Dengan cara ini berarti meningkatkan
efisiensi reproduksi pada hewan donor tersebut
Ø
Pubertas
(Dewasa Kelamin)
Pada hewan betina pubertas dicerminkan oleh terjadinya
estrus dan ovulasi. Sebelum pubertas, saluran reproduksi betina dan ovarium
perlahan-lahan bertambah ukuran dan tidak menunjukkan aktivitas fungsional.
Pertumbuhan dan perkembangan organ-organ kelamin
betina sewaktu pubertas dipengaruhi oleh hormon-hormon gonadotropin dan
hormon-hormon gonadal. Rata-rata ternak sapi mengalami masa pubertas pada umur
16-20 bulan. Pada sapi potong, pubertas rata-rata terjadi pada saat berat badan
sapi mencapai 45-55% dari berat dewasa. Untuk mendapatkan induk yang baik dan
anak yang sehat maka perkawinan pertama pada sapi dara baru boleh dilakukan
pada saat sapi sudah mengalami dewasa tubuh, kira-kira pada berat antara
170-240 kg, disamping juga sudah mencapai dewasa kelamin.
Ø
Estrus
Estrus ialah suatu periode yang ditandai dengan
kelakuan kelamin seekor ternak betina dan penerimaan pejantan
untuk kopulasi (Partodihardjo,
1987). Menurut Prihatno (2006), pengamatan berahi merupakan salah satu faktor penting dalam manajemen reproduksiternak sapi. Kegagalan dalam deteksi berahi dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan. Problem utama deteksi berahi yang
sering dijumpai adalah sapi-sapi yang subestrus atau silent heat (berahi
tenang), karena tidak semua peternak
mampu mendeteksinya. Pengamatan berahi pada sapi betina sebaiknya
dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore. Disamping itu berahi pada sapi
dara juga sulit diamati. Menurut Hosein
and Gibson (2006), deteksi estrus pada sapi dara biasanya sedikit lebih sulit
karena pendeknya periode estrus. Karena itu kemungkinan tanda-tanda estrus pada
sapi dara lebih sulit diamati dibandingkan dengan sapi yang pernah bunting.
Maka dari itu di sarankan pada para peternak untuk memeriksa tanda-tanda berahinya 3 kali sehari pada sapi dara.
Beberapa tanda-tanda sapi berahi antara lain:
1. Kemaluan terlihat membengkak dan kemerahan, jika diraba terasa hangat, dan
mengeluarkan mucus (lendir) bening yang menggantung dari vulva atau terlihat di
pangkal ekor
2. Kurang nafsu makan
3. Urinasi berkali-kali
4. Gelisah dan teriak-teriak
5. Kadang-kadang menaiki sapi lain dan diam jika dinaiki sapi lain (standing
heat)
Tanda-tanda
yang disebutkan diatas sama seperti yang disebutkan oleh peternak yang kita
kunjungi. Siklus berahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain
tergantung dari bangsa, umur, dan spesies (Partodiharjo, 1992). Pada
keadaan normal, siklus berahi pada sapi berkisar antara 18-24 hari atau
rata-rata 21 hari, dengan lama berahi antara 12-28 jam atau rata-rata 18
jam. Sapi dara menjadi berahi sekali dalam 20 hari, dengan variasi 18-22
hari. Menurut Toelihere (1979), siklus
berahi pada umumnya dibagi dalam 4 fase, yaitu : proestrus (lamanya
3 hari), estrus atau berahi (lamanya 18 jam), metestrus(lamanya
3-5 hari), dan diestrus (lamanya 13 hari). Sementara
terjadinya ovulasi 10-14 jam setelah estrus.
Ø
Perkawinan
Salah satu faktor penyebab rendahnya perkembangan
populasi sapi adalah manajemen perkawinan yang tidak tepat, diantaranya: (1)
pola perkawinan yang kurang benar, (2) pengamatan berahi dan waktu kawin tidak
tepat, (3) rendahnya kualitas atau kurang tepatnya pemanfaatan pejantan dalam
kawin alam dan (4) kurang terampilnya petugas serta (5) rendahnya pengetahuan
peternak tentang kawin suntik/IB (Affandhy et al, 2007).
Teknik perkawinan yang berkembang saat ini ada 2 (dua) yaitu:
1. Kawin alam
Upaya peningkatan populasi ternak sapi dapat dilakukan
dengan intensifikasi kawin alam melalui distribusi pejantan unggul terseleksi
dari bangsa sapi lokal atau impor.
Setelah 6-12 jam terlihat gejala berahi, sapi induk
dibawa dan diikat ke kandang kawin yang dapat dibuat dari besi atau kayu,
kemudian didatangkan pejantan dan dikawinkan dengan induk yang berahi tersebut
minimal dua kali ejakulasi.
Kawin alam dapat juga dilakukan di kandang kelompok dengan perbandingan
jumlah pejantan dengan induk betina 1:10 ekor. Penggabungan pejantan dengan
betina dilakukan selama 2 bulan. Jika telah terjadi kebuntingan, sapi betina
dipindahkan ke kandang individu. Selain itu kawin alam juga dapat dilakukan di
padang penggembalaan.
2. Inseminasi buatan (IB)
Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu
cara atau teknik untuk memasukkan mani (sperma atau semen) yang telah dicairkan
dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam
saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang
disebut 'insemination gun'.
Tujuan Inseminasi Buatan :
a) Memperbaiki mutu genetika ternak
b) Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk
dibawa ketempat yang dibutuhkan sehingga mengurangi biaya
c) Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan
unggul secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih lama
d) Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan
teratur
e) Mencegah penularan / penyebaran penyakit
kelamin.
Keuntungan IB
a) Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan
b) Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan
baik
c) Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi
betina (inbreeding)
d) Dengan peralatan dan teknologi yang baik
spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu yang lama
e) Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa
tahun kemudian walaupun pejantan telah mati
f) Menghindari kecelakaan yang sering terjadi
pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar
g) Menghindari ternak dari penularan penyakit
terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin.
Waktu pelaksanaan IB yang ideal adalah 10-22 jam
setelah awal terlihat gejala berahi induk, yakni bila berahi pagi dikawinkan
pada sore hari dan bila berahi sore hari dapat dikawinkan pada besok paginya
(Affandhy et al, 2007).
Beberapa faktor
yang mempengaruhi keberhasilan inseminasi buatan diantaranya :
1. Kondisi
betina, meliputi kesehatan dan anatomi organ reproduksi, Body Condition
Score (BCS), lingkungan dan pakan, ektoparasit dan endoparasit.
2. Spermatozoa,
dilihat dari total sperma yang motil (% motilitas dan konsentrasinya)
3. Ketepatan waktu
IB (siklus berahi)
4. Penempatan posisi semen saat IB (tepat di depan cervik ± 3 cm)
Pada peternakan yang kami kunjungi
milik Bapak Supar menggunakan perkawinan secara inseminsi buatan (IB).
Perkawinan secara IB digunakan oleh pemilik ternak karena lebih praktis untuk
dijalankan. Selain itu peternak juga tidak memiliki sapi jantan yang dewasa
untuk dikawinkan.
Ø
Kebuntingan
Kebuntingan merupakan suatu peristiwa semenjak terjadinya
pembuahan sampai masa kelahiran atau selama perkembangan janin sampai menjadi
fetus di dalam uterus. Berdasarkan ukuran individu dan perkembangan jaringan
serta organ, periode kebuntingan dibedakan atas tiga bagian. Pertama adalah
periode ovum/blastula, dimulai dari fertilisaasi sampai terjadi implantasi.
Segera setelah terjadi fertilisasi, ovum yang dibuahi akan mengalami pembelahan
di ampullary–isthnic junctionmenjadi morula. Pada sapi, masuknya
morula ke dalam uterus terjadi pada hari ke 3-4 setelah fertilisasi. Setelah
hari ke 8, blastosit mengalami pembesaran secara pesat, misalnya embrio domba
pada hari ke 12 panjangnya 1 cm, 3 cm pada hari ke 13, dan 10 cm pada hari ke
14. Lama periode ini pada sapi sampai 12 hari. Pada periode ini, embrio yang
defektif akan mati dan diserap oleh uterus. Periode kedua adalah
periode embrio/organogenesis, dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya
pembentukan organ tubuh bagian dalam. Pada sapi berkisar pada hari ke 12-45
setelah fertilisasi. Selama periode ini terjadi pembentukan lamina
germinativa, selaput ekstraembrionik, dan organ-organ tubuh. Periode ketiga adalah
periode fetus/ perkembangan fetus, dimulai dari terbentuknya alat-alat tubuh
bagian dalam, terbentuknya ekstremitas, sampai lahir. Selama periode ini
terjadi perubahan dan diferensiasi organ, jaringan dan sistem tubuh (Hafez,
1993).
Kebuntingan dapat diketahui dengan melakukan
pengamatan berahi terhadap induk sapi pada hari ke 18-24 setelah dilakukan
perkawinan. Jika pada waktu tersebut tidak terdapat gejala berahi, kemungkinan
pembuahan telah terjadi. Disamping itu kebuntingan juga dapat diketahui dengan
cara palpasi perektal terhadap uterus. Ovarium dan pembuluh darah uterus adalah
cara diagnosa kebuntingan yang paling praktis dan akurat pada sapi. Pada
peternakan Bapak Supar sapi yang bunting perlakuannya tidak terlalu berbeda
dengan sapi biasa. Namun pada pakan lebih diutamakan. Sapi selama 9 bulan
bunting benar-benar dijaga agar anak yang ada didalamnya tetap terjaga dan
berkembang dengan baik.
Ø
Pemeliharaan
Pedet
Saat pedet lahir di peternakan milik Bapak Supar,
beliau menanganinya sendiri. Beliau memanggil mantri untuk penyuntikan
mempermudah pedet keluar dan saat placenta pada sapi tidak ikut keluar bersama
pedetnya. Manajemen pemeliharaan pedet merupakan salah satu bagian dari proses
penciptaan bibit sapi yang bermutu. Untuk itu maka sangat diperlukan penanganan
yang benar mulai dari sapi itu dilahirkan sampai mencapai usia sapi dara.
Pada saat pedet lahir, bersihkan semua lendir yang ada
dimulut dan hidung harus dibersihkan demikian pula yang ada dalam tubuhnya
menggunakan handuk yang bersih. Buat pernapasan buatan bila pedet tidak bisa
bernapas. Potong tali pusarnya sepanjang 10 cm dan diolesi dengan iodin untuk
mencegah infeksi lalu diikat. Berikan jerami kering sebagai alas. Beri
colostrum secepatnya paling lambat 30 menit setelah lahir.
Nutrisi yang baik saat pedet akan memberikan nilai
positif saat lepas sapih, dara dan siap jadi bibit yang prima. Sehingga
produktivitas yang optimal dapat dicapai. Pedet yang lahir dalam kondisi sehat
serta induk sehat di satukan dalam kandang bersama dengan induk dengan diberi
sekat agar pergerakan pedet terbatas. Diharapkan pedet mendapat susu secara ad
libitum, sehingga nutrisinya terpenuhi. Selain itu pedet dapat mulai mengenal
pakan yang dikonsumsi induk yang kelak akan menjadi pakan hariannya pedet
tersebut setelah lepas sapih. Bagi pedet yang sakit, pedet dipisah dari induk
dan dalam perawatan sampai sembuh sehingga pedet siap kembali di satukan dengan
induk atau induk lain yang masih menyusui.
PENYAKIT REPRODUKSI
Dipeternakan sapi yang kami survey tidak pernah
mengalami penyakit yang kronis. Contoh penyakit reproduksi yang sering ditemui
di lapangan adalah:
1. Brucellosis
Disebabkan oleh bakteri brucella abortus, bersifat zoonosis (dapat menular
pada manusia) melalui lendir alat kelamin, lendir mata, makanan dan air yang
tercemar, dan IB. gejala yang tampak adalah kematian janin pada 6-9 bulan
kebuntingan. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan kandang,
vaksinasi, pemberian antiseptic dan antibiotika pada ternak yang sakit,
pengasingan ternak yang terinfeksi, fetus dan plasenta yang digugurkan dibakar
dan dikubur.
2. Distokia (kesulitan melahirkan)
Merupakan suatu kondisi
stadium pertama kelahiran (dilatasi cervik) dan kedua (pengeluaran fetus) lebih
lama dan menjadi sulit dan tidak mungkin lagi bagi induk untuk mengeluarkan
fetus. Penanganan dapat dilakukan dengan cara: 1) Mutasi, mengembalikan posisi
fetus, memutar, dan menarik, 2) penarikan paksa, 3) operasi cecar.
3. Leptospirosis
Penyebabnya
yaitu Leptospira pomona, Leptospira gripothyposa, Leptospira conicola,
Leptospira hardjo. Cara penularannya melalui kulit terbuka/ selaput lendir
(mulut, pharynx, hidung, mata) karena kontak dengan makanan dan minuman yang
tercemar. Gejala yang nampak diantaranya : anoreksia (tidak mau makan),
produksi susu turun, abortus pada pertengahan kebuntingan.
4. Endometritis (radang uterus)
Merupakan
peradangan pada endometrium (dinding rahim). Uterus (rahim)
sapi biasanya terkontaminasi dengan berbagai mikroorganisme (bakteri)
selama masa puerpurium (masa nifas). Gejalanya meliputi :
leleran berwarna jernih keputihan sampai purulen (kekuningan)
yang berlebihan, uterus mengalami pembesaran (peningkatan
ukuran). Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan
dalam uterusnya tertimbun cairan. Pengaruh endometritis terhadapfertilitas (pembuahan)
adalah dalam jangka pendek, menurunkan kesuburan, Calving Interval dan
S/C naik, sedangkan jangka panjang menyebabkan sterilitas (kemajiran)
karena terjadi perubahan saluran reproduksi.Faktor predisposisi (pendukung)terjadinya endometritis adalah distokia, retensi
plasenta, musim, kelahiran kembar, infeksi bakteri serta penyakit
metabolit. Penanganannya dengan injeksi antibiotik, hormon (PGF2α) dan irigasi/
pemasukan antiseptik intra uterina (Ratnawati et al, 2007).
Berbagai
penyebab gangguan reproduksi tidak diketahui pasti, dan sering ganguan ini
disebabkan oeh kombinasi dari beberapa faktor sehingga menimbulkan penurunan
fertilitas. Memelihatra tingkat kesuburan yang memuaskan merupakan dasar bagi
berhasilnya program reproduksi ternak. Beberapa penyebab penurunan fertilitas
akan dibahas dibab ini berkaitan dengan faktor genetika kelainan anatomik,
fisiologik, dan patologik, setra upaya peningkatan efisiensi reproduksi yang
dijelaskan dengan beberapa indikator fertilitas.
PENYEBAB KEGAGALAN REPRODUKSI
Secara
garis besar ada tiga faktor yang menyebabkan kegagalan reproduksi sehingga
menurunkan efisiensi reproduksi pada ternak, yaitu kelainan anatomi dan
keturunan, fisiologik dan psikologik, serta infeksi penyakit.
Ø Kelainan anatomi dan keturunan
Peranan genetik terhadap efisiensi
reproduksi masih banyak didiskusikan. Diperkirakan bahwa pengaruh gen letal
sedikit memegang pernanan karena gen latal merupakan penyebab kematian jiak gen
ini diturunkan dari kedua tetuanya. Beberapa abnormalitasana anatomik berasal
dari keturunaan (genetik), namun sedikit diketahui peranan genetik yang
menyebebkan perubahan fisiologik hingga mempengaruhi fertilitas. Abnormalitas
anaomik karena keturunan sering ditemukan seperti abnormalitas kelenjar gonad
(hipoplasia testis dan ovarium) yang kurang berkembang,saluran reproduksi yang
tidak tumbuh atau kurang sempurna seperti pada freemartin, serta abnormalitas
primer dari spermatozoa, sehingga ternak yang mempunyai sifat ini memiliki
fertilitas rendah. Kelainan karena faktor keturunan (kongetial) pada dasarnya
menyebabkan kegagalan dalam reproduksi.
Ø Upaya perbaikan efisiensi
reproduksi
Upaya peningkatan produktifitas
ternak dengan meningkatkan efisiensi reproduksi dapat dilakukan melalui
cara-cara sebagai beikut.
1. Perbaikan
sistem pemeliharaan ternak secara umum, termasuk pakan dan tatalaksana, mernagsang
tingkat pertumbuhan dan laktasi, pengendalian penyakit.
2. Perbaikan
mutu genetik untuk menyediakan ternak yang dapat memanfaatkan secara maksimal
sistem pemeliharaan yang diberikan.
3. Mengembangkan
teknologi untuk memaksimumkan potensi kinerja reproduksi ternak jantan dan
betia dengan cara mengurangi kerugian karena kegagalan konsepsi, kematian
embrio,dan fetus, dan kematian sekitar kelahiran
4. Mengurangi
kerugian produksi hasil ternak melalui penyimpanan dan pengawetan yang baik.
Faktor yang paling penting dapat
mempengaruhiproduktifitas ternak adalah tingat reproduktifitasnya. Tingkat
reproduksi didefinisikan sebagai jumlah ternak
betina yang hidup sampai umur yang dapat bereproduksi dibagi dengan
jumlah induk. Manajemen berperan penting dalam efisiensi reproduksi yang
diperoleh dari jantan dan betina. Manajemen sebaik apa pun tidak mungkin
mencapai efisiensi 100%, namun manajemen yang jelek dapat mengakibatkan
menurunkan secara drastis efisiensi reprosuksi. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan efisiensi reproduksi, perlu diperbaiki beberapa hal berikut ini :
1. Manajemen
reproduksi, selama ini perhatian pada ternak secara kontinyu masih kurang,
terutama ketepatan waktu perkawinan, pengamatan estrus, pemeriksaan
kebuntingan. Melaksanakan seleksi ternak (genetik) dengan meghindari perkawinan
inbreeding juga perlu diperhatikan,
selain mengikuti kemajuan teknologi dibidang reproduksi seperti sinkronisasi
estrus, superovulasi, inseminasi buatan, dan induksi kelahiran.
2. Manajemen
lingkungan dilakukan dengan memodifikasi lingkungan untuk menurunkan stres.
3. Manajemen
pakan, perlu diperhatikan komponen nutien yang diseduaikan dengan kondisi
fisiologis ternak saat pertumbuhan, kawin, birahi, bunting, lahir, dan laktasi
(Yedi,2003).
V.
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Peternakan yang kami
kunjungi yaitu dipeternakan sapi milik Bapak Supar di Banteran Kecamatan
Sumbang Kabupaten Banyumas memiliki manajemen pemeliharaan yang cukup baik
karena beliau sangat teliti dalam mengurus ternaknya dari kebersihan kandang,
asupan makanan yang diberikan dan manajemen perkawinan. Manajemen reproduksi
cukup baik, karena beliau sangat jeli saat melihat ternaknya sedang estrus dan
beliau langsung memanggil orang untuk mengIB sapinya. Saat sapinya bunting
asupan makanannya lebih diperhatikan untuk mendapatkan keturunan yang memiliki
kualitas yang baik. Saat akan melahirkan beliau menanganinya sendiri kecuali
ada kelainan pada ternaknya.
5.2.
Saran
Untuk mengembangkan peternakan
diperlukan manajemen yang baik dalam pemeliharaan ternak, khususnya dibidang
manajemen reproduksinya. Karena reproduksi merupakan salah satu hal yang
terpenting dalam keberhasilan pengembangbiakan ternak. Oleh karena itu dalam menjalankan
peternakan harus memiliki manajeman yang baik.
1 komentar:
gag ada dapusnya kk
Posting Komentar