TUGAS
TERSTRUKTUR
PENGENDALIAN
PENYAKIT TERNAK
MAKALAH
PENGENDALIAN AI (AVIAN INFLUENZA)
Oleh :
Gesit
Wicaksono D1E010164
Erlindani
Setya M D1E010165
Laeli
Al Khuriyah D1E010168
Moh.
Fahmi
Praga
Rizky G. D1E0101
Novita
Kurnia A D1E0101
Fika
Fitriani B D1E0101
Jamal
Agung
Fredi
Kelompok : 5 (lima)
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PETERNAKAN
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dunia memberikan
perhatian yang besar terhadap wabah AI (Flu Burung) terhadap beberapa negara di
Asia antara lain Indonesia, China, Thailand dan Kambodja. Saat ini, adalah
tahun ke enam setelah wabah AI meledak pertama kali di China, keempat negara
tersebut masih sedang mengalami wabah AI walaupun pada lokasi-lokasi tertentu.
Dunia mengkhawatirkan perkembangan wabah AI di Asia mengingat penularan AI
kepada manusia dan antara manusia dengan manusia yang pada akhirnya dapat
berjangkit ke seluruh dunia. Indonesia, saat ini, menjadi pusat perhatian dunia
karena korban manusia yang meninggal akibat AI menduduki peringkat tertinggi di
dunia.
Indonesia harus mempertimbangkan banyak hal dalam
kemampuan mengendalikan wabah AI secara integratif, efektif, dan adil, karena
industri perunggasan menjadi tumpuan hidup masyarakat banyak seperti penyedia
lapangan kerja, sumber pendapatan serta industri dan perdagangan pangan.
Indonesia yang saat ini mempunyai masalah penyedia lapangan kerja bagi jutaan
penduduk menganggur dan miskin, maka pembangunan industri peternakan unggas merupakan
pilihan jawaban yang sangat baik saat ini.
Oleh karena itu,
walaupun wabah AI sangat berbahaya bagi manusia, namun pemerintah diharapkan
bersikap bijak dalam berbagai tindakan pengendalian AI untuk tidak mengabaikan
dampaknya terhadap faktor sosial ekonomi peternak. WHO/FAO/OIE merekomendasikan
perlunya dikembangkan one health system dalam pembangunan industri peternakan
unggas, yang mempunyai pengertian menekankan azas kesehatan manusia dan hewan.
Wabah AI yang terjadi
di Indonesia dari tahun 2003 sampai 2006, secara nyata mempunyai dampak sosial
ekonomi yang luas terhadap industri unggas khususnya peternak kecil dan
pengusaha rumah potong hewan ayam skala kecil dan para pedagang pada semua
level. Dalam masa wabah tersebut sekitar 11 juta ekor ayam telah dimusnahkan,
sekitar 60 persen peternak ayam menghentikan usahanya pada tahun 2005. Dampak
AI baik secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan produksi ayam
turun sampai 60 persen. Indonesia mentargetkan bebas AI tahun 2009 tidak dapat terealisasi
karena sampai Februari 2009 masih terjadi wabah flu burung diberbagai tempat.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah penyakit AI itu?
2.
Apa penyebab penyakit AI?
3.
Gejala apa yang timbul karena penyakit AI?
4.
Pengendalian yang perlu dilakukan untuk mencegah
penyakit AI?
BAB II
ISI
Avian
Influenza (AI) atau lebih dikenal dengan sebutan penyatkit flu burung
disebabkan oleh virus yang diklasifikasikan kedalam orthomyxoviruses dan
memiliki tiga tipe yaitu tipe A, B, dan C. Virus ini menyerang bagian
pernafasan atau sistem syaraf. Tingkat kematian akibat penyakit ini bisa
mencapai 100%. Akibatnya, penyakit ini disebut dengan highly pathogenic avian influenza. Penyakit ini menyebabkan banyak
kerugian pada usaha peternakan unggas, termasuk peternakan ayam. Pada banyak
kasus, kerugian tersebut tidak dapat dihitung karena banyak faktor yang
mempengaruhinya. Pada prinsipnya virus flu burung tidak berbahaya atau
mengakibatkan kematian pada manusia. Namun, karena sifat virus ini mudah
bermutasi sehingga jika flu burung bertemu dengan flu manusia akan membentuk
jenis virus baru yang membahayakan dan
bisa menyebabkan kematian. Virus ini dapat ditularkan melalui saliva
(kelenjar ludah) dan kotoran ayam. Virus ini dapat hidup selama empat hari pada
suhu 22o C. Bahkan, bisa tahan hidup lebih dari 30 hari pada suhu 0
o C. Namun, virus ini bisa mati pada suhu 80 o C dalam waktu
satu menit.
Gejala
yang tampak pada ayam yang terserang penyakit ini sangat jelas,tatapi tingkat
serangannya tergantung dari umur dan spesies unggas yang terjangkit. Serangan
akut menampakkan gejala adanya gangguan pernapasan seperti batuk, bersin, dan
terjadi sinusitis. Selaini itu, menunjukan gejala seperti mata berair, badan
lemah, produksi telur menurun drastis, diare, terjadi edema dibagian kepala dan
muka, serta ayam tampak nervous. Penyakit ini akan menjadi lebih ganas bila
diikuti dengan penyakit fowl cholera atau colibacillosis.
Luka
(lesion) sangat bervariasi tergantung dari tingkat serangan virus tersebut.
Namun, umumnya terjadi inflamasi di daerah trakea, sinus, kantung udara, dan
conjunctiva. Jika ayam yang sedang bertelur terserang penyakit ini akan terjadi
regresi pada indung telur dan terjadi perubahan bentuk pada oviduct. Selain
itu, terjadi congestive, hemorrhagic, dan necrotic lesion. Gajala lain akan
ditemukan adanya exsudate fibrinous atau caseous di bagian kantung udara (air
sac), saluran telur (oviduct), kantung penutup jantung (pericardial sac), atau
peritoneum. Terjadi edema dibagian mukosa trakea dengan exsudate yang encer
sampai kental. Di bagian kulit, jengger, pial atau hati, limpa dan paru-paru
akan ditemukannecrosis berbentuk bulat kecil. Penyakit ini bisa menyebar dengan
cara unggas yang terjangkit AI mengeluarkan virus melalui saluran pernapasan,
conjunctiva, dan kotoran. Penyakit tersebut menular melalui kontak langsung
antara ayam yang sakit dengan ayam yang sehat. Selain itu, bisa menular secara
tidak langsung melalui udara atau virus yang dikeluarkan melalui kotoran.
Penularan juga bisa melalui kendaraan, peralatan, pakan, dan air minum yang
sudah terkontaminasi AI (fadilah, 2004).
Unggas
yang hidup di air seperti itik, angsa merupakan sumber utama penularan penyakit
Avian Influenza selain kalkun dan semua spesies burung baik yang dipelihara maupun
yang liar. Ungags air yang menjadi sumber penyakit Avian Influenza, umumnya memang
tidak memberi petunjuk adanya gejala-gejala terserang, tetapi akan mengeluarkan
virus selama jangka waktu yang sama, selain dapat tertular virus yang lebih dari
satu tipe dan tidak membentuk antibody.
Apabila
kalkun yang terserang penyakit Avian Influenza virusnya tetap berada didalam tubuhnya
selama beberapa bulan dan virus yang telah diisolasi dari telur kalkun,
menunjukkan adanya pemindahan vertical meskipun virusnya akan membunuh embrio.Pembuangan
telur yang tertular virus Alvian Influenza secara sembarangan akan menularkan
virus pada burung yang kondisinya rentan, selanjutnya burung tersebut menularkannya
kepeternakan ayam. Namun sesuai laporan penelitian yang resmi, penularan penyakit
ini dapat melalui berbagai cara.
Virus
avian influenza cukup tahan ,sehingga dapat dipindahkan melalui peralatan atau makanan
dan tercemar virus tersebut. Tetapi kebanyakan yang terjadi adalah kontak langsung
dari sumber penyakit dengan ayam yang kondisinya rentan.
Gejala
klinis penyakit influenza sangat bervariasi dan tergantung pada banyak faktor,
seperti usia ayam yang terserang, virulensi virus, cara penularan dan pengelolaan.
Tetapi ayam segala usia dapat terserang penyakit ini. Virus avian influenza
menyerang saluran pencernaan dan system syaraf. Bentuk yang paling ganas adalah
penyakit yang umum dan akut yang ditandai oleh perjalanan singkat dengan mortalitas
tinggi. Virus yang virulensinya rendah, tidak menimbulkan tanda-tanda, sedangkan
yang tinggi virulensinya menyebabkan kematian, didahului dengan tanda-tanda
gangguan pernafasan seperti batuk, bersin, ngorok, keluar air mata, dan terjadinya
radang pada rongga-rongga hidun gayam. Bahkan sering ditambah gejala-gejala diare,
kepala dan muka membengkak akibat bunting air atau gangguan syaraf. Tingkat kematian
ayam yang terserang penyakit avian Influenza yang berlangsung singkat, dapat
mencapai 100% (Murtidjo, 1992).
Lingkar hidup virus influensa unggas jenis
patogenisitas rendah dalam unggas air liar secara genetik adalah stabil
(Webster 1992). Siklus infeksi antar unggas terjadi melalui rantai oral-fekal
(mulut-tinja). Selain menular melalui kontak langsung dari penjamu ke penjamu,
air dan benda-benda lain yang tercemar virus merupakan jalur penularan tidak
langsung yang juga penting. Ini berbeda dengan penularan virus influensa pada
mamalia (manusia, babi, kuda) yang terutama terjadi melalui percikan yang
tersembur dari hidung dan mulut. Pada unggas, titer ekskresi tertinggi yang
pernah dilaporkan mencapai 108,7 x 50% dosis telur-terinfeksi (egginfected
dose, EID50) per gram tinja (Webster 1978). Titer rata-rata biasanya
jauh lebih rendah dari itu. Virus influensa unggas menunjukkan kemampuan yang
mengagumkan dalam mempertahankan daya penularannya di lingkungan alam, terutama
di permukaan air, meskipun dalam morfologi nampak rapuh (Stallknecht 1990a+b,
Lu 2003). Telah dibuktikan bahwa suspensi virus dalam air mampu mempertahankan
daya penularannya selama lebih dari 100 hari pada suhu 17o C. Di bawah – 50o C
virus dapat bertahan praktis untuk waktu yang tidak terbatas. Data dari Ito et
al (1995) dan Okazaki et al (2000) membuktikan bahwa di daerah
palearktik, virus influensa unggas terawetkan di dalam air danau yang beku
selama musim dingin ketika penjamu alaminya sedang bermigrasi ke tempat yang
lebih panas. Ketika mereka kembali pada musim panas berikutnya, unggas-unggas
tersebut bserta anak-anaknya yang masih rentan akan terinfeksi oleh virus-virus
yang
terlepas sewaktu es mencair. Sejalan dengan temuan ini, diperkirakan bahwa
virus-virus influensa tersimpan awet dalam lingkungan es untuk waktu yang
sangat lama (Smith 2004), dan bahwa virus-virus kuno serta genotipnya dapat
aktif kembali dari tempat-tempat penampungan semacam itu (Rogers 2004).
Masuknya virus LPAI subtipe H5 atau H7 ke tubuh
kawanan unggas yang rentan merupakan dasar dari rantai infeksi yang dapat
diikuti dengan perkembangan de novo biotipe yang sangat patogenik.
Risiko penularan dari burung liar ke unggas peliharaan terutama terjadi kalau
unggas peliharaan tersebut dibiarkan bebas berkeliaran, menggunakan air yang
juga digunakan oleh burung liar, atau makan dan minum dari sumber yang tercemar
kotoran burung liar pembawa virus (Capua 2003, Henzler 2003). Unggas juga dapat
terinfeksi jika bersentuhan langsung dengan hewan pembawa virus, atau kotoran
hewan lain yang membawa virus, atau bersentuhan dengan benda-benda yang
tervemar bahan mengandung virus. Sekali virus menginfeksi kawanan unggas, LPAIV
tidak harus mengalami suatu fase adaptasi pada spesies unggas tersebut sebelum
dikeluarkan lagi dalam jumlah yang cukup besar untuk dapat menular secara
horisontal ke unggas lain, baik dalam kawanan sendiri ataupun ke kawanan yang
lain. Demikian pula sekali HPAIV berkembang dari kawanan unggas yang terinfeksi
LPAIV, ia juga dapat menular dengan cara yang sama. Pasar unggas yang menjual
unggas dalam jumlah besar dan unggas ditempatkan secara saling berdesakan,
merupakan multiplikator penyebaran penularan (Shortage 1998, Bulaga 2003).
Tindakan pengamanan (biosecurity) yang baik,
yang ditujukan untuk mengisolasi perusahaan peternakan unggas yang besar, dapat
secara efektif mencegah penularan dari satu peternakan ke peternakan yang lain
secara mekanik (misalnya melalui alat-alat, kendaraan, makanan, pakaian --
terutama sepatu, dan kandang atau kurungan yang tercemar)..Sebuah analisis yang
dilakukan terhadap kasus wabah HPAI di Italia selama tahun 1999/2000
menunjukkan cara penulatan sebagai berikut: pemindahan atau perpindahan kawanan
unggas (1,0%), kontak yang terjadi selama dalam pengangkutan unggas ke tempat
pemotongan (8,5%), lingkungan dalam radius atu kilometer seputar peternakan
yang terserang (26,2%), truk-truk yang digunakan mengangkut pakan, kandang atau
bangkai unggas (21,3%), penularan secara tidak langsung karena pertukaran
karyawan, alat-alat, dsb (9,4%) (Marangon and Capua 2005). Tidak ada petunjuk
bahwa wabah yang terjadi di Italia itujuga menyebar melalui udara. Tetapi pada
wabah yang terjadi di Belanda (2003) dan kanada (2004), diperkirakan juga
terjadi penyebaran melalui udara (Landman and Schrier 2004, Lees 2004). Peranan
vektor hidup seperti binatang pengerat atau lalat, yang dapat bertindal sebagai
“vektor mekanik” tetapi dia sendiri tidak terinfeksi, belum dapat ditentukan
tetapi yang pasti peranan mereka tidak dianggap besar.
Idealnya
memang dengan vaksinasi, tetapi vaksin tidak selalu ada, kecuali vaksin yang
dibuat di daerah kejadian. Namun dalam prakteknya, vaksin tidak afektif, karena
untuk daerah lain, kalau ada perbedaan antigenic, sulit mengharapkan kemampuan hasil
vaksinasi. Melaksanakan sanitasi yang baik sangat dianjurkan. Selain menjelang perubahan
iklim, air minum ayam dapat dicampur dengan CTC (Chlortetracyclyne), diberikan selama
3 hari, dengan takaran 1 sendok teh penuh untuk 16 liter air minum. Untuk
pengobatan terhadap ayam yang terserang penyakit Avian Influenza yang efektif
tidak ada, sehingga jika ada ayam yang terserang dan positif adanya penyakit
Avian Influenza, dianjurkan untuk disingkirkan dari peternakan (Murtidjo, 1992).
Kerentanan burung liar terhadap penyakit yang
ditimbulkan oleh HPAIV sangat bervariasi tergantung kepada spesies dan umur
unggas, serta strain virusnya. Sampai pada munculnya virus ganas (HPAIV)
garis H5N1 di Asia, limpahan dari HPAIV ke populasi burung liar hanya terjadi
secara sporadik dan terbatas pada suatu daerah saja, kecuali satu yaitu pada
kematian sekelompok sterna (sejenis camar) di Afrika Selatan pada tahun
1961 (Becker 1966), sehingga sebegitu jauh unggas liar secara epidemiologik tidak
dianggap mempunyai peranan penting dalam penyebaran HPAIV (Swayne and Suarez
2000). Pandangan ini kini berubah secara fundamental sejak awal 2005, ketika
terjadi wabah virus ganas (HPAIV) yang terkait dengan garis H5N1 Asia pada
ribuan burung air di cagar alam Danau Qinghai di barat laut China (Chen 2005,
Lu 2005). Akibat kejadian ini, ditemukan adanya penyebaran lebih lanjut ke arah
Eropa selama tahun 2005 (OIE 2005).
Tindakan yang harus diambil dalam menghadapi wabah HPAI
tergantung kepada keadaan epidemiologis di tiap negara/wilayah yang terkena. Di
wilayah Uni Eropa yang HPAI-nya tidak endemik, pencegahan influensa unggas
melalui vaksinasi biasanya dilarang. Dengan demikian jika ada wabah HPAI di
antara unggas ternak dapat diperkirakan akan terjadi secara mencolok karena
sifat klinis penyakit ini yang dapat menghancurkan industri ternak unggas. Akibatnya,
jika hal itu terjadi, akan diambil tindakan yang lebih agresif, misalnya memusnahkan
segala sesuatu yang tercemar virus, dengan tujuan segera membasmi virus HPAI
dan melokalisasi wabah pada daerah atau perusahaan yang terkena saja.
Untuk tujuan ini, zona pengawasan dan pengendalian
didirikan di sekitar kejadian dengan radius yang berbeda-beda pada tiap negara
(antara 3 dan 10 kilometer di wilayah Uni Eropa). Pengkarantinaan peternakan
yang terserang dan yang berhubungan dengannya, pemusnahan semua unggas yang
terinfeksi atau terpapar virus, dan pembuangan bangkai unggas secara baik,
merupakan cara yang baku untuk mencegah penyebaran secara lateral ke peternakan
yang lain (OIE - Terrestrial Animal Health Code). Adalah sangat penting bahwa
perpindahan unggas hidup dan, barangkali, juga produk ternak unggas, baik di
dalam negeri maupun lintas negara, harus dibatasi selama ada wabah.
Selain itu, pengendalian LPAI subtipe H5 dan H7 pada
unggas, melalui penutupan dan pembersihan atau bahkan pemusnahan peternakan
yang terinfeksi, perlu dianjurkan untuk memperkecil risiko perkembangan HPAIV
secara de novo di daerah itu. Masalah khusus dari konsep pemberantasan
wabah seperti ini dapat muncul di daerah (1) dengan populasi unggas ternak yang
sangat tinggi (Marangon 2004, Stagemann 2004, Manelli 2005) dan (ii) usaha
ternak kecil di sekitarnya dengan unggas yang dibiarkan lepas berkeliaran (Witt
and malone 2005). Akibat kedekatan lokasi industri peternakan unggas dengan
industri yang terkait, persebaran penyakit dapat lebih cepat dibanding upaya
pemberantasannya. Oleh karena itu sewaktu terjadi wabah di Italia tahun
1999/2000, bukan hanya perusahaan yang terinfeksi atau yang bersentuhan yang
dihancurkan, tetapi juga kelompok unggas yang berisiko terinfeksi dalam radius
satu kilometer dari peternakan yang terserang infeksi ikut dimusnahkan sebagai
tindakan pre-emptive. Tindakan pembasmian tersebut memakan waktu empat
bulan dan memusnahkan sebanyak 13 juta unggas (Capua 2003). Pembentukan zona
penyangga yang berupa daerah bebas unggas dengan radius satu sampai beberapa
kilometer dari peternakan yang terserang juga merupakan kunci keberhasilan
pemberantasan wabah virus HPAI di Belanda di tahun 2003 dan Kanada di tahun
2004. Akibatnya musnahnya 30 juta unggas di Belanda dan 19 juta di Kanada bukan
hanya disebabkan oleh wabah penyakit itu sendiri tetapi juga karena pemusnahan pre-emptive
yang dilakukan. Di tahun 1977, penguasa Hong Kong memusnahkan seluruh
populasi unggas dalam waktu tiga hari (pada tanggal 29, 30 dan 31 Desember; 1,5
juta unggas). Penerapan tindakan seperti itu yang ditujukan untuk segera
membasmi HPAIV dengan juga mengorbankan hewan yang tidak terinfeksi, mungkin
hanya dapat dilakukan di daerah perkotaan dan daerah peternakan unggas
komersial. Tetapi tindakan ini juga akan memukul industri secara bermakna dan
menimbulkan pertanyaan publik tentang aspek etika jika pemusnahan juga
dilakukan terhadap jutaan hewan yang sehat dan tidak terinfeksi di wilayah
penyangga.
Tindakan seperti itu sangat sulit dilakukan di
daerah pedesaan yang mengusahakan peternakan unggas secara tradisional dan
unggas, ayam dan bebek, dibiarkan berkeliaran secara bebas bergaul dengan
burung-burung liar atau berbagi air dengan mereka. Terlebih lagi bebek ternak
dapat menarik kedatangan bebek liar dan dengan demikian dapat menjadi rantai
penularan tang berarti (WHO 2005). Keadaan ini dapat pijakan bagi virus HPAI
untuk menjadi endemik. Sifat endemik HPAI di daerah tertentu akan terus menekan
industri peternakan. Karena tindakan-tindakan tersebut tidak dapat
dipertahankan untuk jangka waktu lama tanpa menghancurkan industri ternak
unggas, atau kalau dilakukan di negara berkembang, mengakibatkan kehilangan
sumber protein bagi penduduknya, maka harus dicari cara lain. Vaksinasi sudah
secara luas dilakukan dalam keadaan tersebut dan mungkin dapat dijadikan
sebagai upaya pendukung untuk memberantas wabah di daerah non-endemik.
Menurut Fadilah (2004), menyatakan bahwa
menanggulangi penyakit ini bisa dilakukan dengan cara melakukan vaksinasi,
mengisolasi farm atau peternakan yang terkena, memusnahkan semua ayam yang
terinfeksi, melarang keluar masuk peralatan, orang, dan kendaraan ke daerah
peternakan yang terserang AI, melakukan sanitasi (biosecurity) ketat, serta
mengistirahatkan farm yang terinfeksi. Belum ada obat yang efektif untuk
mengatasi penyakit ini. Upaya yang bisa dilakukan adalah memberikan pakan yang
berkualitas, memperbaiki manajemen pemeliharaan, dan memberikan antibiotik
spektrum luas. Upaya tersebut bisa mengurangi kerugian akibat infeksi ikutan
(secondary infection).
9 langkah pengendalian penyakit AI berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Peternakan nomor 17/Kpts/PD.640/F/02/04 tanggal 7
Pebruari 2004 tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan pemberantasan
Penyakit Hewan Menular Avian Influenza pada Unggas :
- Peningkatan
Biosekuriti
- Vaksinasi
- Depopulasi
di daerah tertular
- Pengendalian
lalulintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas
- Surveillance
dan penelusuran (tracing back)
- Pengisian
kandang kembali (restocking)
- Stamping
out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular baru
- Peningkatan
kesadaran masyarakat (public awareness)
- Monitoring
dan evaluasi.
Dalam dunia kedokteran hewan, vaksinasi ditujukan
untuk mencapai empat sasaran: (i) perlindungan terhadap timbulnya penyakit
secara klinis, (ii) perlindungan terhadap serangan virus yang virulen, (iii)
perlindungan terhadap ekskresi virus, (iv) pembedaan secara serologik antara
hewan yang terinfeksi dari hewan yang divaksinasi (dikenal sebagai differentiation
of infected from vaccinated animals, atau prinsip DIVA). Di bidang
vaksinasi influensa, sampai saat ini belum ada vaksin, baik secara
eksperimental maupun yang beredar secara komersial, yang dapat memenuhi semua
persyaratan di atas (Lee and Suarez 2005). Tujuan pertama, yaitu perlindungan
terhadap munculnya penyakit secara klinis dapat dipenuhi oleh semua vaksin.
Risiko hewan yang divaksinasi untuk terkena infeksi virus virulen, dan mengeksresinya,
biasanya juga dapat diturunkan tetapi tidak sepenuhnya tercegah. Hal ini dapat
menimbulkan masalah epidemiologik yang signifikan di daerah endemik yang sudah
mendapat vaksinasi secara luas: unggas yang sudah divaksinasi yang nampak sehat
dapat juga terkena infeksi dan mengeluarkan virus liar di balik perlindungan
vaksin. Efektivitas pengurangan ekskresi virus merupakan hal yang penting bagi
mencapai tujuan utama pengendalian wabah, yaitu, terbasminya virus virulen di
lapangan. Efektivitas tersebut dapat dikuantifikasikan dengan menggunakan
faktor replikasi r0. Jika sekawanan unggas yang sudah divaksinasi terkena
infeksi dan menularkan infeksinya ke rata-rata kurang dari satu kawanan lainnya,
(r0 <1), maka secara matematik virus virulen tersebut cenderung dapat
dibasmi (van der Goot 2005). Dalam hal vaksinasi terhadap virus H5N1 zoonotik,
penurunan jumlah virus yang diekskresi berarti juga menunrunkan risiko penularan
ke manusia karena untuk dapat menembus batas penghalang (barrier) antara
unggas dan manusia diperlukan jumlah virus yang signifikan. Dan akhirnya, tehnik
DIVA juga memungkinkan pendeteksian infeksi oleh virus liar melalui pemeriksaan
serologik terhadap unggas yang sudah divaksinasi.
BAB III
KESIMPULAN
Avian
Influenza (AI) atau lebih dikenal dengan sebutan penyatkit flu burung
disebabkan oleh virus yang diklasifikasikan kedalam orthomyxoviruses dan
memiliki tiga tipe yaitu tipe A, B, dan C. Virus ini menyerang bagian pernafasan
atau sistem syaraf.
Gejala
yang tampak pada ayam yang terserang penyakit ini sangat jelas,tatapi tingkat
serangannya tergantung dari umur dan spesies unggas yang terjangkit. Serangan
akut menampakkan gejala adanya gangguan pernapasan seperti batuk, bersin, dan
terjadi sinusitis. Selain itu, menunjukan gejala seperti mata berair, badan
lemah, produksi telur menurun drastis, diare, terjadi edema dibagian kepala dan
muka, serta ayam tampak nervous. Penyakit ini akan menjadi lebih ganas bila
diikuti dengan penyakit fowl cholera atau colibacillosis.
Pengendalian dan pemberantasan Penyakit Hewan Menular Avian Influenza pada
Unggas :
- Peningkatan
Biosekuriti
- Vaksinasi
- Depopulasi
di daerah tertular
- Pengendalian
lalulintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas
- Surveillance
dan penelusuran (tracing back)
- Pengisian
kandang kembali (restocking)
- Stamping
out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular baru
- Peningkatan
kesadaran masyarakat (public awareness)
- Monitoring
dan evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Becker WB. The
isolation and classification of Tern virus: influenza A-Tern South Africa—1961.
J Hyg (Lond) 1966; 64: 309-20.
Bulaga LL,
Garber L, Senne DA, et al. Epidemiologic and surveillance studies on
avianinfluenza in live-bird markets in New York and New Jersey, 2001. Avian Dis
2003; 47:Suppl: 996-1001.
Capua I,
Mutinelli F. Low pathogenicity (LPAI) and highly pathogenic (HPAI) avian
influenza in turkeys and chicken. In: Capua I, Mutinelli F. (eds.), A Colour
Atlas and Text on Avian Influenza, Papi Editore, Bologna, 2001, pp. 13-20.
Capua I,
Marangon S, dalla Pozza M, Terregino C, Cattoli G. Avian influenza in Italy
1997-2001. Avian Dis 2003; 47: Suppl: 839-43.
Chen H, Deng G,
Li Z, et al. The evolution of H5N1 influenza viruses in ducks in southern
China. Proc Natl Acad Sci U S A 2004; 101: 10452-7. Epub 2004 Jul 2.
Fadilah, Roni
dan Agustin Polana.2004.Aneka Penyakit Pada Ayam Dan Cara Mengatasinya.
Agromedia Pustaka.jakarta.
Henzler DJ,
Kradel DC, Davison S, et al. Epidemiology, production losses, and control
measures associated with an outbreak of avian influenza subtype H7N2 in
Pennsylvania (1996-98). Avian Dis 2003; 47: Suppl: 1022-36.
Ito T, Kawaoka
Y, Nomura A, Otsuki K. Receptor specificity of influenza A viruses from sea
mammals correlates with lung sialyloligosaccharides in these animals. J Vet Med
Sci 1999; 61: 955-8.
Landman WJ,
Schrier CC. Avian influenza: eradication from commercial poultry is still not
in sight. Tijdschr. Diergeneeskd 2004; 129: 782-96.
Lee CW, Suarez
DL. Application of real-time RT-PCR for the quantitation and competitive
replication study of H5 and H7 subtype avian influenza virus. J Virol Methods.
2004; 119: 151-8.
Lees W. The 2004
outbreak of highly pathogenic avian influenza (H7N3) in British Columbia.
Cahnet Bull 2004; 9: 4-10.
Lu H, Castro AE,
Pennick K, Liu J, Yang Q, Dunn P, Weinstock D, Henzler D. Survival of avian
influenza virus H7N2 in SPF chickens and their environments. Avian Dis. 2003;
47: 1015-21.
Mannelli A,
Ferre N, Marangon S. Analysis of the 1999-2000 highly pathogenic avian
influenza (H7N1) epidemic in the main poultry-production area in northern
Italy. Prev Vet Med. 2005 Oct 19; [Epub ahead of print].
Marangon S,
Capua I, Pozza G, Santucci U. field experiences in the control of avian
influenza outbreaks in densely populated poultry areas. Dev Biol (Basel) 2004;
119: 155-64.
Murtidjo,
Bambang Agus.1992.Pengendalian Hama Dan Penyakit Ayam.Kanisius.Yogyakarta.
OIE.
Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals. Chapter
2.1.14. Avian influenza. http://www.oie.int/eng/normes/mmanual/A_00037.htm –
Accessed 05 May 2012.
Okazaki K,
Takada A, Ito T, et al. Precursor genes of future pandemic influenza viruses
are perpetuated in ducks nesting in Siberia. Arch Virol 2000; 145: 885-93.
Rogers SO,
Starmer WT, Castello JD. Recycling of pathogenic microbes through survival in
ice. Med Hypotheses 2004; 63: 773-7.
Shortridge KF.
Pandemic influenza: a zoonosis? Semin Respir Infect 1992; 7: 11-25.
Smith AW,
Skilling DE, Castello JD, Rogers SO. Ice as a reservoir for pathogenic human
viruses: specifically, caliciviruses, influenza viruses, and enteroviruses. Med
Hypotheses 2004; 63: 560-6.
Stallknecht DE,
Shane SM, Kearney MT, Zwank PJ. Persistence of avian influenza viruses in
water. Avian Dis 1990a; 34: 406-11.
Stallknecht DE,
Kearney MT, Shane SM, Zwank PJ. Effects of pH, temperature, and salinity on
persistence of avian influenza viruses in water. Avian Dis 1990b; 34: 412-8.
Stegeman A,
Bouma A, Elbers AR, et al. Avian influenza A virus (H7N7) epidemic in The
Netherlands in 2003: course of the epidemic and effectiveness of control
measures. J Infect Dis 2004; 190: 2088-95. Epub 2004 Nov 15.
Swayne DE,
Suarez DL. Highly pathogenic avian influenza. Rev Sci Tech 2000a; 19: 463-8.
van der Goot JA,
Koch G, de Jong MC, van Boven M. Quantification of the effect of vaccination on
transmission of avian influenza (H7N7) in chickens. Proc Natl Acad Sci U S A.
2005;102: 18141-6.
Webster RG,
Yakhno MA, Hinshaw VS, Bean WJ, Murti KG. Intestinal influenza: replication and
characterization of influenza viruses in ducks. Virology 1978; 84: 268-78.
Webster RG, Bean
WJ, Gorman OT, Chambers TM, Kawaoka Y. Evolution and ecology of influenza A
viruses. Microbiol Rev 1992; 56: 152-79.
Whittaker G, Bui
M, Helenius A. The role of nuclear import and export in influenza virus
infection. Trends Cell Biol. 1996 Feb;6(2):67-71.
WHO 2005. Avian
Influenza: Assessing the pandemic threat.
0 komentar:
Posting Komentar